Saat APBD Menyusut, Daerah Harus Bangkit dengan Potensinya Sendiri
Table of Contents
Oleh: Dr. Yunada Arpan
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Gentiaras, Bandar Lampung
Artikel, Liputankeprinews.com - Penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di sejumlah wilayah akibat berkurangnya transfer dana dari pemerintah pusat menjadi alarm serius bagi masa depan kemandirian fiskal daerah di Indonesia.
Tahun 2026 mendatang, banyak daerah diprediksi menghadapi keterbatasan anggaran karena kebijakan penyesuaian fiskal nasional serta meningkatnya kebutuhan belanja negara di sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan subsidi sosial.
Ketika transfer Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH) menurun, kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik pun ikut tertekan. Kondisi ini bukan sekadar soal keuangan, melainkan cerminan dari tantangan struktural pembangunan ekonomi daerah.
Yang terancam bukan hanya proyek fisik, tetapi juga lapangan kerja, daya beli masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi lokal. Karena itu, daerah perlu berani bangkit dan menggali potensi ekonominya sendiri, bukan sekadar menunggu kebijakan pusat.
APBD dan Dampak Ekonomi Makro di Daerah
Dalam kerangka teori ekonomi makro, belanja pemerintah merupakan salah satu komponen utama pengeluaran agregat (aggregate expenditure) yang menentukan tingkat pendapatan dan output perekonomian.
John Maynard Keynes menegaskan bahwa peningkatan belanja pemerintah menciptakan efek pengganda (multiplier effect): meningkatnya permintaan barang dan jasa yang kemudian memacu produksi dan kesempatan kerja.
Sebaliknya, penurunan belanja pemerintah—terutama dalam konteks daerah—dapat memicu perlambatan ekonomi. Aktivitas proyek menurun, belanja modal terpangkas, dan daya serap tenaga kerja melemah. Akibatnya, perputaran ekonomi lokal ikut tertekan, terutama bagi pelaku UMKM dan sektor informal yang bergantung pada peredaran dana publik.
APBD sejatinya bukan hanya alat administrasi keuangan, tetapi juga instrumen ekonomi untuk menstimulasi permintaan domestik, mendorong investasi publik, dan menggerakkan sektor riil. Karena itu, ketika dana transfer dari pusat menyusut, daya dorong fiskal daerah melemah dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Ketergantungan Fiskal dan Tantangan Struktural
Masalah utama banyak daerah di Indonesia adalah ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer pusat. Menurut data Kementerian Keuangan, sebagian besar daerah masih menggantungkan lebih dari 70 persen pendapatan APBD-nya dari dana transfer.
Artinya, semangat otonomi fiskal yang diharapkan sejak desentralisasi belum sepenuhnya terwujud. Ketergantungan ini menimbulkan dua risiko besar:
1. Kerentanan terhadap kebijakan fiskal nasional, di mana setiap perubahan di pusat langsung mengguncang stabilitas keuangan daerah.
2. Sikap pasif birokrasi daerah, yang lebih fokus menunggu dana turun daripada menggali potensi lokal dan berinovasi.
Dalam teori pembangunan ekonomi Todaro dan Smith (2015), pertumbuhan berkelanjutan memerlukan capacity building — kemampuan suatu wilayah untuk mengelola sumber daya sendiri, menciptakan nilai tambah, dan memperkuat kelembagaan ekonomi lokal. Tanpa itu, daerah akan terus terjebak dalam ketergantungan fiskal jangka panjang.
Saatnya Daerah Menggali Potensi Sendiri
Turunnya APBD semestinya menjadi momentum reflektif bagi pemerintah daerah untuk menata ulang strategi ekonominya. Kemandirian fiskal tidak harus berarti menaikkan pajak atau pungutan baru yang membebani masyarakat, tetapi dengan cara cerdas memaksimalkan potensi lokal.
1. Diversifikasi Ekonomi.
Daerah perlu mengembangkan sektor unggulan seperti pertanian, perikanan, pariwisata, industri kreatif, hingga ekonomi digital. Fokusnya bukan lagi pada produksi bahan mentah, melainkan hilirisasi—mengolah hasil produksi agar bernilai tambah dan memiliki daya saing di pasar regional.
2. Kolaborasi dan Kemitraan.
Pemerintah daerah harus memperkuat sinergi dengan pelaku usaha, BUMDes, koperasi, dan lembaga keuangan mikro. Pembangunan ekonomi lokal tidak mungkin hanya bergantung pada APBD; kolaborasi akan memperluas pembiayaan produktif dan menciptakan lapangan kerja baru.
3. Reformasi Birokrasi dan Efisiensi Anggaran.
Pengelolaan keuangan berbasis kinerja (performance-based budgeting) harus diterapkan agar setiap rupiah anggaran memberi hasil nyata bagi masyarakat.
4. Investasi pada Sumber Daya Manusia.
Pendidikan vokasi, pelatihan kerja, dan penguatan kewirausahaan lokal perlu menjadi prioritas. Teori circular causation dari Gunnar Myrdal mengajarkan bahwa kemajuan ekonomi tidak akan tercapai jika masyarakat tidak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan peluang ekonomi.
Dari Krisis Fiskal Menuju Momentum Reformasi
Krisis fiskal daerah bisa menjadi momentum reformasi pembangunan ekonomi. Ketika ketergantungan pada dana pusat dikurangi, daerah justru dapat memperkuat fondasi ekonomi lokal berbasis inovasi, kolaborasi, dan kemandirian.
Pemerintah daerah perlu menata ulang prioritas anggaran, memotong proyek seremonial yang tidak produktif, dan mengalihkan fokus pada sektor-sektor yang menciptakan nilai ekonomi riil.
Dalam jangka menengah, membangun ekosistem ekonomi lokal yang tangguh—melalui penguatan UMKM, digitalisasi layanan publik, serta tata kelola anggaran yang transparan—menjadi kunci untuk mempertahankan daya saing daerah.
Penurunan APBD memang menantang, tetapi bukan akhir segalanya. Justru di sinilah ujian sejati otonomi daerah: sejauh mana pemerintah daerah mampu berdiri di atas kaki sendiri, menggali kekuatan ekonomi lokal, dan menjadikan keterbatasan sebagai sumber inovasi.
Sebab, sebagaimana ditegaskan banyak ekonom pembangunan, kemajuan suatu daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar dana yang dimiliki, melainkan seberapa cerdas dana itu dikelola untuk kemaslahatan masyarakat.
Kemandirian fiskal bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan bagi daerah yang ingin tumbuh kokoh di tengah dinamika kebijakan nasional dan global.
---
(S.Yanto).
Posting Komentar