Rakyat Menjerit, Pemerintah Hanya Termenung: Warga Dusun Cikay Hidup dalam Gelap, Janji Pembangunan Tinggal Cerita

Table of Contents
Lingga, Liputankeprinews.com —
Di saat para pemimpin daerah sibuk berbicara soal pembangunan dan kesejahteraan, di sudut kecil Kabupaten Lingga, tepatnya Dusun Cikay, Desa Marok Tua, Kecamatan Singkep Barat, rakyat justru hidup dalam kegelapan — bukan hanya tanpa listrik, tapi juga tanpa perhatian.

Selama bertahun-tahun, warga Cikay harus berjuang menerangi malam dengan genset sederhana yang dipakai secara bergantian. Bila mesin itu rusak, kampung pun gelap total. Tidak ada tiang listrik berdiri, tidak ada sinar lampu jalan yang menuntun langkah malam mereka.

“Kami sudah sampaikan ke dewan, tapi belum ada yang datang melihat keadaan kami,” ujar Tujar, warga setempat, dengan nada kecewa saat ditemui Liputankeprinews.com minggu lalu.


Padahal, keluhan itu sudah lama disampaikan kepada salah satu anggota DPRD Kabupaten Lingga, namun tak satu pun pejabat atau dinas terkait yang turun meninjau.
Sikap diam dan abai semacam ini menjadi cermin buram dari lemahnya komitmen pemerintah terhadap rakyat kecil.

Janji yang Tak Pernah Menyala


Rakyat Cikay tidak menuntut proyek besar, tidak meminta jalan bertingkat atau gedung megah. Mereka hanya ingin satu hal sederhana: penerangan untuk malam hari.
Namun, kesederhanaan itu justru seolah menjadi beban yang terlalu berat untuk diwujudkan oleh pemerintah daerah.

Sementara itu, setiap kali momen politik tiba — baik Pilkades maupun Pilkada — Dusun Cikay seketika ramai dikunjungi. Spanduk janji, seruan perubahan, dan kata “sejahtera” mendadak memenuhi ruang dengar warga. Tapi begitu suara rakyat usai dihitung, kampung kembali tenggelam dalam gelap dan sunyi.

“Dulu waktu mau pemilihan, banyak yang datang. Sekarang sudah menang, tak satu pun yang ingat jalan ke sini,” ucap seorang ibu rumah tangga dengan nada getir.


Potret Kesenjangan yang Nyata

Kehidupan warga Cikay adalah potret ketimpangan paling jujur di tengah wacana pembangunan daerah. Banyak warga yang tidak bisa membaca dan menulis, sebagian bahkan tidak mengenal dunia digital. Mereka hidup dalam keterbatasan akses informasi dan komunikasi, hanya bisa menggunakan ponsel jadul untuk panggilan suara.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga harus menyebrang ke Kampung Sebayur atau Desa Cukas. Saat air laut surut, mereka berjalan kaki melintasi lumpur dan pasir demi mendapatkan bahan pokok.
Rumah-rumah di sana sebagian besar sudah tidak layak huni — berdinding papan lapuk dan beratap bocor, namun tetap mereka tempati dengan pasrah.

Cermin bagi Pemimpin

Kondisi Cikay seharusnya menjadi tamparan moral bagi para pemegang kekuasaan. Pemerintah Kabupaten Lingga perlu melihat kenyataan ini bukan sekadar keluhan kecil di pelosok, melainkan suara hati rakyat yang lama diabaikan.

Listrik bukan kemewahan, melainkan hak dasar warga negara. Bila satu dusun saja masih hidup tanpa penerangan di tahun 2025, maka narasi “pemerataan pembangunan” yang sering dikutip dalam pidato pejabat hanyalah retorika kosong tanpa aksi.

Sudah saatnya pemerintah berhenti termangu di balik meja rapat dan mulai menyentuh tanah, melihat rakyat, dan mendengar dengan hati.
Rakyat Cikay tidak butuh belas kasihan, mereka hanya menagih janji yang pernah diucapkan di depan mikrofon.


---


(Zoel/Aman).

Posting Komentar