Legalitas Penetapan Jabatan Hulubalang LAM Kepri: Antara Mekanisme Adat dan Sengketa Persepsi Tokoh Masyarakat

Table of Contents
Oleh: Agus Sandra 

Tanjungpinang, Liputankeprinews.com —
Polemik mengenai proses penetapan Jabatan Hulubalang Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau mencuat setelah tokoh pemuda Pulau Penyengat, Ilyas, menyampaikan keberatannya terhadap mekanisme penetapan yang dinilai tidak sesuai aturan adat. Pernyataan tersebut memicu diskusi di kalangan tokoh adat, akademisi, dan masyarakat Melayu mengenai legalitas, kewenangan lembaga, serta tata cara penetapan jabatan tradisional tersebut. Bagaimana seharusnya penetapan Hulubalang dilakukan, dan apakah polemik ini mencerminkan ketidakselarasan antara hukum adat dan mekanisme formal lembaga?


Latar Belakang Hukum & Sejarah Jabatan Hulubalang

Hulubalang merupakan jabatan penting dalam struktur adat Melayu klasik. Dalam tradisi Kesultanan Riau-Lingga, Hulubalang berperan menjaga keamanan negeri, menjalankan titah sultan, serta memastikan ketertiban adat. Meski bersifat adat, jabatan ini memiliki dimensi hukum karena:

1. Mengandung unsur kewenangan publik tradisional,

2. Memiliki fungsi penegakan norma adat,

3. Terikat pada tata cara pengangkatan khusus yang diwariskan turun-temurun.


Di era modern, keberlanjutan jabatan ini dikelola LAM Kepri sebagai lembaga payung adat sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta aturan internal lembaga. Namun, tidak semua mekanisme adat tertulis secara rinci, sehingga ruang tafsir kerap menimbulkan perbedaan pandangan.


Regulasi dan Dasar Kewenangan LAM Kepri

LAM Kepri sebagai lembaga adat memiliki kewenangan menetapkan struktur-organ lembaga, termasuk posisi Hulubalang, berdasarkan:

AD/ART LAM Kepri

Peraturan internal lembaga (jika ada)

Prinsip-prinsip hukum adat Melayu: musyawarah, mufakat, warisan budaya, legitimasi para tetua


Namun, dokumen internal mengenai mekanisme penetapan jabatan adat sering kali tidak dipublikasikan secara luas, sehingga memicu pertanyaan publik tentang proses legalitas dan transparansi penetapan.


Permasalahan yang Muncul: Sengketa Persepsi Tokoh Adat

Pernyataan resmi Ilyas, tokoh pemuda Pulau Penyengat,pada 19/12/2025 yang lalu menjadi pemantik utama polemik ini. Ia menilai:

Penetapan calon Hulubalang yang dibahas publik belum melalui mekanisme yang benar.

Ada prosedur adat yang dianggap terlewati.

Legitimasi tokoh yang disebut-sebut tidak memenuhi kaidah adat Penyengat.


Pernyataan tersebut memunculkan perdebatan di internal masyarakat adat, terutama karena:

Penyengat memiliki kedudukan simbolik penting dalam sejarah adat Melayu Kepri.

Jabatan Hulubalang adalah jabatan kehormatan yang harus sangat berhati-hati dalam proses pengangkatannya.

Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau 

Perspektif dan Tanggapan LAM / Tokoh Lainnya (Cover Both Sides)

Hingga kini, pernyataan resmi LAM Kepri belum dirilis secara lengkap. Namun dari sumber internal dan tokoh adat yang enggan disebutkan namanya, ada pandangan bahwa:

Proses penetapan masih tahap penjajakan, belum keputusan final.

LAM memiliki kewenangan penuh berdasarkan AD/ART, sehingga kritik eksternal dianggap sah tetapi tidak mengikat.

Proses musyawarah sedang dilakukan di tingkat pengurus, termasuk melibatkan tokoh adat yang layak dimintai pendapat.


Pandangan ini menunjukkan bahwa lembaga menganggap kritik sebagai bagian dari dinamika, namun tetap pada posisi bahwa kewenangan formal ada pada struktur LAM.


Analisis Hukum: Adat vs. Mekanisme Formal

Pada titik inilah liputan ini masuk ranah hukum:

Legalitas Prosedural

Jika AD/ART mengatur bahwa pengangkatan jabatan berada pada kewenangan pengurus harian atau dewan adat, maka prosesnya legal secara formal.

Legalitas Adat (Substantif)

Meski legal secara lembaga, penetapan jabatan adat harus juga:

Mendapat pengakuan tokoh adat senior,

Mengikuti kebiasaan turun-temurun,

Menghormati nilai historis Penyengat sebagai pusat adat Melayu.


Potensi Konflik Hukum Adat

Sengketa dapat terjadi jika:

Mekanisme lembaga tidak selaras dengan tata cara adat,

Ada tokoh adat/pemuka masyarakat yang tidak dilibatkan,

Ada perbedaan tafsir antara adat Penyengat dan aturan internal LAM.


Dalam perspektif hukum adat, legitimasi sosial sama pentingnya dengan legitimasi administratif.


Verifikasi, Data, dan Langkah Jurnalis

Dalam liputan ini, penulis telah melakukan:

Verifikasi pernyataan tokoh adat (Ilyas)

Cross-check kepada beberapa tokoh LAM

Penelusuran dokumen dasar adat dan sejarah jabatan Hulubalang

Analisis konteks hukum adat dan peraturan organisasi


Dampak Sosial-Hukum Jika Polemik Tidak Diselesaikan

Jika dibiarkan berlarut, polemik ini dapat menyebabkan:

- Ketidakjelasan legitimasi jabatan Hulubalang

- Konflik persepsi antar tokoh adat

- Turunnya kepercayaan masyarakat terhadap LAM

-Distorsi sejarah adat Melayu Kepri

-Pada tingkat kelembagaan, LAM perlu memastikan proses berjalan transparan dan beradab.


Upaya Penyelesaian

Beberapa langkah yang dapat diambil LAM Kepri:

1. Menggelar musyawarah terbuka melibatkan tokoh adat Penyengat.

2. Mempublikasikan alur penetapan jabatan adat.

3. Mengklarifikasi status calon Hulubalang yang beredar di publik.

4. Memastikan pengangkatan sesuai nilai adat Melayu: adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah.


Kesimpulan Liputan

Polemik jabatan Hulubalang LAM Kepri membuka ruang evaluasi terhadap sinkronisasi antara:

aturan tertulis LAM (legal formal),

kaidah adat Penyengat (legal substantif), dan

persepsi publik adat Melayu.


Liputan hukum ini menegaskan bahwa setiap jabatan adat harus memenuhi dua prinsip utama: legitimasi lembaga dan legitimasi adat. Penyelesaiannya memerlukan dialog, transparansi, dan penghormatan terhadap sejarah adat Melayu Kepri.


---

(Agus Sandra).

Posting Komentar