Palu Hukum Indonesia Gelar Seminar Nasional: Pemilu dan Pilkada Harus Dipisah?

Table of Contents
Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., sebagai narasumber utama

Refleksi Akademik atas Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024

Maros, Liputankeprinews.com – Perdebatan mengenai format ideal penyelenggaraan Pemilu di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Apakah Pemilu nasional dan Pilkada sebaiknya tetap disatukan atau dipisahkan? Pertanyaan ini menjadi fokus pembahasan dalam Seminar Nasional V yang digelar Palu Hukum Indonesia, bertema “Pemilu dan Pilkada: Perlukah Dipisah? Refleksi Akademik atas Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024” yang dilaksanakan pada Minggu, 10 Agustus 2025.

Acara yang dihelat di Maros melalui Zoom Meeting ini menghadirkan pakar hukum tata negara, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., sebagai narasumber utama, dengan Bina Hadianing Sari bertindak sebagai moderator. Pembukaan seminar dilakukan oleh Ketua Umum Palu Hukum Indonesia, Muh. Adhitya Wiratama, S.H., M.H., yang menekankan urgensi forum akademik sebagai ruang dialog kritis atas kebijakan negara, khususnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Putusan Mahkamah Konstitusi memang bersifat final dan mengikat, namun bukan berarti tidak bisa dikaji. Justru dari diskusi akademik seperti inilah lahir gagasan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan kita,” tegas Adhitya.

Karakter Putusan MK
Dalam sesi pemaparan, Dr. Fahri Bachmid menjelaskan karakter khusus putusan MK. Berbeda dari lembaga peradilan biasa, putusan MK tidak sekadar menyelesaikan sengketa hukum, tetapi juga berperan sebagai constitutional interpreter — penafsir konstitusi.

“Putusan MK itu final and binding, tetapi tetap bisa dikritik. Akademisi justru punya peran untuk menguji argumentasi hukumnya, mencari celah perbaikan, dan memastikan konstitusi tetap hidup,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa sifat final and binding membuat putusan MK tidak dapat diajukan banding atau diuji ulang oleh lembaga lain. Namun, secara akademik putusan tersebut tetap dapat dianalisis demi memastikan arah perkembangan hukum sesuai prinsip konstitusionalisme.

Landasan Konstitusional dan Sejarah Dinamika Pengaturan
Diskusi bergeser pada landasan konstitusional. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu. Ketentuan ini kerap dikaitkan dengan wacana pemisahan Pemilu nasional dan Pilkada.

Fahri mengingatkan, wacana ini bukan hal baru. Pada 2013, Prof. Yusril Ihza Mahendra pernah mendorong penyatuan Pemilu legislatif dan presiden, yang kemudian terwujud pada Pilpres 2019. Sejarah Pemilu serentak bermula dari Putusan MK 2013 yang melahirkan konsep “Pemilu lima kotak” — memilih presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu hari. Tujuannya memperkuat sistem presidensial dengan legitimasi seimbang antara eksekutif dan legislatif.

Namun, implementasinya memunculkan masalah. MK menilai Pemilu (Pasal 22E UUD 1945) merupakan arena politik nasional, sedangkan Pilkada (Pasal 18 UUD 1945) adalah arena politik lokal. Penyatuan keduanya, seperti pada Pemilu Serentak 2019, dianggap tidak konsisten dengan mandat konstitusi.

Problem Pemilu Serentak 2019 dan 2024
Pengalaman Pemilu Serentak 2019 dan 2024 menjadi studi kasus. Beban logistik yang berat, kompleksitas teknis, hingga jatuhnya korban jiwa di lapangan menjadi sorotan. Padatnya agenda pemungutan suara juga dinilai mengurangi fokus pemilih pada isu-isu daerah.

“Kalau semua digabung dalam satu hari, logistik kacau, petugas kelelahan, dan substansi politik jadi terpinggirkan. Demokrasi bukan sekadar cepat, tapi juga harus sehat,” tegas Fahri.

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Desain Baru Pemilu
Melalui putusan ini, MK memisahkan jadwal Pemilu nasional dari Pilkada, menegaskan pembagian arena politik nasional dan lokal. Langkah ini memberi ruang bagi penyelenggara merancang pemilu yang lebih terukur, sekaligus memungkinkan pemilih fokus pada isu sesuai konteksnya.

Norma Transisi dan Tantangan Ke Depan
Meski arah kebijakan telah ditetapkan, tantangan implementasi masih besar. Belum ada preseden untuk pengisian jabatan DPRD pada masa transisi. Perdebatan muncul antara opsi penunjukan atau tetap melalui pemilu lokal. Keduanya memiliki implikasi terhadap legitimasi politik dan efisiensi.

“Jangan sampai demi mengejar efisiensi, kita mengorbankan legitimasi politik. Transisi harus dirancang agar tetap mengutamakan kedaulatan rakyat,” kata Fahri.

Seruan dari Palu Hukum Indonesia
Menutup seminar, Muh. Adhitya Wiratama menegaskan bahwa pemisahan Pemilu nasional dan Pilkada bukan hanya soal teknis jadwal, tetapi menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. Ia mengajak akademisi, mahasiswa hukum, dan pegiat demokrasi untuk aktif memberi masukan dalam perumusan kebijakan pemilu ke depan.

Refleksi Akademik yang Berlanjut
Forum ini menghasilkan kesimpulan bahwa pemisahan Pemilu nasional dan Pilkada adalah langkah logis secara konstitusional, namun keberhasilannya bergantung pada desain teknis, regulasi pendukung, dan komitmen semua pihak menempatkan kepentingan demokrasi di atas kepentingan politik sesaat. Putusan MK ini berpotensi membentuk ulang lanskap demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.

Catatan Redaksi: Tulisan ini merupakan kiriman dari kontributor media lain. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau narasumber. Redaksi Liputankeprinews.com membuka ruang hak jawab sesuai amanat Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.

---

Sumber Kontributor Media 
Editor: Redaksi Lkn.com

Posting Komentar