Ratusan Nelayan Kepulauan Riau Gelar Aksi Damai Tolak Zona Tangkapan dan Penambangan Pasir Laut

Daftar Isi
           foto/; Distrawandi Saat sesi wawancara 

Tanjungpinang, LIPUTANKEPRINEWS.COM – Ratusan nelayan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Nelayan Kepulauan Riau (Kepri) menggelar aksi unjuk rasa damai di halaman Gedung Daerah, Tanjungpinang, Kamis pagi (15/5/2025). Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah pusat terkait zona tangkapan terukur dan aktivitas penambangan pasir laut yang dinilai merugikan nelayan tradisional.

Aksi ini dipimpin oleh Distrawandi selaku Koordinator Aksi. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa kebijakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota telah menyulitkan kehidupan nelayan kecil, khususnya kapal berukuran di bawah 30 Gross Ton (GT) dan di atas 6 GT yang diwajibkan bermigrasi jika ingin beroperasi dalam wilayah 12 mil laut dari garis pantai.

"Kami meminta pemerintah pusat untuk meninjau kembali aturan ini. Nelayan Kepri berada di perairan dangkal yang banyak tersebar dari pulau ke pulau. Penetapan 12 mil laut sangat menyulitkan penghitungan wilayah tangkap. Kami ini nelayan tradisional, bukan industri besar," ujar Distrawandi di hadapan massa aksi.

Tak hanya soal zona tangkap, Distrawandi juga menyoroti dampak buruk dari aktivitas penambangan pasir laut yang disebutnya telah merusak ekosistem perairan dan mengancam kelangsungan hidup nelayan.

"Sedimentasi akibat tambang pasir laut telah menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem laut. Ini berdampak langsung terhadap hasil tangkapan kami. Kami mendesak pemerintah untuk segera mencabut seluruh izin penambangan pasir laut di wilayah Kepulauan Riau," tegasnya.

Massa aksi membawa berbagai spanduk dan poster bertuliskan tuntutan agar pemerintah segera membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan. Aksi ini berlangsung damai dan mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.


Dalam wawancara lanjutan, Distrawandi menyebut bahwa sekitar 70 hingga 80 persen nelayan di Kepulauan Riau termasuk dalam kategori kapal 6 hingga 30 GT. Ia menilai kebijakan berbasis kuota dan pembagian zona tersebut hanya menguntungkan industri besar, sementara nelayan lokal semakin terpinggirkan.

Ia juga menyinggung ketidakefektifan pengawasan pemerintah terhadap kapal asing yang kerap masuk ke perairan Indonesia, khususnya Natuna dan Anambas.

"Nelayan tradisional jadi mata dan telinga di laut, tapi tanpa dukungan alat komunikasi yang memadai. Pemerintah meminta kami melaporkan kapal asing, tapi tidak membekali kami dengan fasilitas seperti Starlink atau alat komunikasi laut lainnya. Ini tidak adil dan menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam mendukung peran strategis nelayan," ujarnya.

Distrawandi juga menyayangkan sikap pemerintah pusat yang hingga kini belum menggubris aspirasi nelayan dari berbagai daerah, padahal persoalan ini sudah menjadi isu nasional di 19 provinsi, termasuk Sulawesi dan Gorontalo.

Melalui aksi ini, para nelayan berharap agar aspirasi mereka benar-benar diperjuangkan oleh DPRD Provinsi Kepulauan Riau dan diteruskan ke pemerintah pusat.

"Kalau suara kami tak juga didengar, kami akan kembali turun ke jalan dengan massa yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, ini soal masa depan anak-cucu kami yang bergantung pada laut," pungkas Distrawandi.


(Redaksi/Kontributor).


#Tanjungpinang #DPRD #Kepri

Posting Komentar