Tumpulnya Keadilan di Rote Ndao: Hukum Lebih Tajam pada Kritik daripada Kejahatan Korporasi
Table of Contents
Oleh: Robinson Umbu Taka
Opini, Liputankeprinews.com - Kritik Dibungkam, Korporasi Didiamkan
Di negeri yang mengaku menjunjung demokrasi, kritik semestinya menjadi napas yang menghidupkan ruang publik. Kritik bukan ancaman, melainkan vitamin bagi perbaikan kebijakan. Namun, di Rote Ndao justru terjadi sebaliknya: kritik dibungkam, sementara dugaan kejahatan korporasi dibiarkan menguap tanpa kepastian hukum.
Kasus Erasmus Frans Mandato menjadi potret nyata ironi ini. Tokoh pariwisata sekaligus mantan anggota DPRD Rote Ndao itu harus berhadapan dengan jeruji besi hanya karena sebuah unggahan di media sosial. Dalam tulisannya, Erasmus mengkritik penutupan akses jalan menuju Pantai Bo'a yang diduga dilakukan PT Boa Development. Kritik tersebut bukan kabar burung, melainkan fakta yang dilihat dan dirasakan masyarakat setempat. Namun, alih-alih dijadikan masukan, ia justru dilaporkan menggunakan pasal karet UU ITE dan ditahan sejak 1 September 2025.
Ironisnya, laporan dugaan penebangan liar 2.200 batang mangrove oleh perusahaan yang sama, yang sudah masuk sejak Agustus 2024, hingga kini tak kunjung dituntaskan. Padahal, mangrove bukan sekadar pohon—ia penyangga ekosistem pesisir, pelindung alami dari abrasi, sekaligus sumber penghidupan nelayan. Ketika ia ditebang secara ilegal, yang terancam bukan hanya lingkungan, tetapi juga masa depan masyarakat pesisir.
Pertanyaan pun bergema: mengapa hukum begitu cepat membungkam kritik, tetapi lamban ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi?
Praperadilan dan Indikasi Kriminalisasi
Tim hukum Erasmus Frans telah mengajukan praperadilan. Mereka menilai penetapan tersangka cacat prosedur karena dilakukan tanpa pemeriksaan calon tersangka terlebih dahulu, jelas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK dengan tegas mewajibkan penyidik memeriksa calon tersangka terlebih dahulu demi menjaga keseimbangan alat bukti.
Selain itu, alat bukti yang dipakai pun dianggap rapuh. Sebuah postingan Facebook yang sekadar menyuarakan fakta lapangan semestinya tidak cukup untuk menjerat seseorang dengan pasal pidana. Semua ini memperlihatkan indikasi kuat adanya kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi. Bila pola semacam ini dibiarkan, kritik rakyat akan terus terancam, dan kebebasan berbicara akan mati pelan-pelan di akar rumput.
Gelombang Aksi dan Represi Aparat
Namun, masyarakat Rote Ndao tidak tinggal diam. Sejak penahanan Erasmus, gelombang demonstrasi berlangsung di depan Mapolres Rote Ndao selama empat hari berturut-turut. Mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga keluarga Erasmus ikut turun ke jalan. Tuntutan mereka sederhana: bebaskan Erasmus dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Sayangnya, aksi damai itu justru berujung represi. Aparat kepolisian menggunakan pentungan untuk membubarkan massa. Seorang aktivis terluka di kepala hingga berdarah, sementara seorang perempuan dari keluarga Erasmus ikut menjadi korban pukulan. Alih-alih membuka ruang dialog, aparat justru mempertontonkan panggung kekerasan.
Pesan yang tersampaikan berbahaya: suara kritis akan dilawan dengan pentungan, bukan dengan argumen.
Demokrasi yang Terancam Mati Perlahan
Kasus Erasmus Frans bukan sekadar persoalan individu yang dikriminalisasi. Ia adalah cermin buram sistem hukum kita: tumpul menghadapi korporasi, tetapi tajam menghantam kritik rakyat. Demokrasi di tingkat lokal terancam mati perlahan bila kebebasan berbicara diperlakukan sebagai ancaman.
Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan melayani kepentingan segelintir pihak. Aparat kepolisian seharusnya menuntaskan dugaan penebangan mangrove oleh PT Boa Development dengan keseriusan yang sama, bahkan lebih, dibanding memproses sebuah kritik di media sosial.
Hukum sejatinya adalah perisai rakyat, bukan pedang yang diarahkan kepada mereka. Membebaskan Erasmus Frans adalah langkah awal mengembalikan kepercayaan publik. Menuntaskan kasus dugaan kejahatan lingkungan adalah bukti bahwa hukum tidak bisa dibeli oleh korporasi.
Jika langkah-langkah ini tidak diambil, maka yang terjadi bukan hanya ketidakadilan bagi Erasmus, melainkan juga pengkhianatan terhadap demokrasi. Rakyat akan belajar bahwa bersuara itu berbahaya, sementara perusahaan bisa leluasa merusak lingkungan.
Sudah saatnya penegak hukum di Rote Ndao—dan di mana pun di negeri ini—berdiri di sisi rakyat. Hanya dengan begitu, keadilan tidak lagi berhenti pada kata-kata, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan semua orang.
---
Oleh: Robinson Umbu Taka
Posting Komentar